Menghargai Waktu yang Kita Punya

Waktu, andai saja aku bisa memberhentikan, mempercepat, atau mengulang waktu. Mungkin saja semua orang berharap yang sama. Tapi mengapa waktu seolah menjadi musuh bagi kita? Terburu waktu, terkejar waktu, terbatas waktu, terkikis waktu.

Waktu, bisakah berdamai dengan dia?

Iya, dia, dia yang selalu mengaitkan waktu. Dia yang selalu membatasi waktu. Dia yang selalu menganggap waktu adalah sebuah keterbatasan. Sedangkan aku, tidak, aku sangat menikmati waktu. Sekalipun sudah sedikit waktuku, ya dinikmati saja, itulah namanya dinamika.

Waktu mengajarkan kita untuk tepat. Waktu mengajarkan kita untuk cepat. Waktu mengajarkan kita untuk lambat. Waktu mengajarkan kita untuk merapat. Tapi waktu juga bisa membuat kita tersesat.

Waktu, bagiku, ia adalah saat dimana aku harus bersyukur. Bersyukur telah berkejaran, bersyukur telah berusaha, bersyukur telah gagal, bersyukur telah berhasil, bersyukur sebab mengajarkanku banyak hal. Tanggung jawab, kedewasaan, keikhlasan, ketabahan, dan keajaiban.

Ya, keajaiban. Pernahkah kamu sadar bahwa terlalu banyak keajaiban yang telah datang karena waktu? Di akhir perjuanganmu, ada saja malaikat yang datang memberimu jawaban. Pernahkah kamu sadar bahwa waktu memberikanmu sebuah arti? Arti untuk menikmati. Menikmati setiap kejadian yang sedang kau jalani. Pernahkah kamu sadar bahwa waktu membuatmu semakin meninggi? Tinggi dan semakin tinggi, apapun itu, tingginya kebahagiaan, atau tingginya penderitaan. Itu semua tergantung dengan waktu.

Waktu adalah sebuah alur kehidupan. Naik, turun, cepat, lambat, salah, tepat, kurang, maupun cukup, waktulah sahabatmu. Berdamailah dengan waktu, sebab waktu tak punya niat jahat kepadamu.

#sajakasal di Agustus 2021

Ketika Aku Sendiri

Waktu seolah menjadi boomerang bagiku. Seharusnya kamu sudah begini, seharusnya kamu sudah begitu, seharusnya kamu seperti ini, seharusnya kamu seperti itu, seharusnya, seharusnya, dan seharusnya. Bisakah kita berhenti menggunakan pemilihan kata “seharusnya”.

Aku yakin setiap orang pasti membenci kata “seharusnya” ketika dia sedang berusaha yang terbaik menurutnya, namun tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Kata itu seolah menjadi hakim yang menyatakan kalau kita ini bersalah, dan merekalah yang benar. Apa benar begitu?

Bisakah kata “seharusnya” diubah menjadi “aku mendukungmu”? ahh tentu banyak kedamaian tercipta dengan kata itu. Aku mendukungmu selagi kamu bahagia. Cukup itu saja. Mengapa kata “aku mendukungmu” justru sangat sulit untuk diucap? Hemmmm..

Yang pasti, aku mendukungmu dengan apa yang kamu rencanakan. Aku mendukungmu dengan apa yang kamu cita-citakan. Aku mendukungmu selagi kamu tahu apa risiko dari keputusan yang kamu ambil. Aku mendukungmu selama itu membuatmu bahagia.

Ya, bahagia. Sebab bahagiaku dan bahagiamu berbeda.

[Podcast] Ketika Aku Sendiri

#sajakasal di Agustus 2021

Kepercayaan Diri dan Keegoisan Diri: Ingin Dimengerti

Hemmmm rasanya anak akan selalu menjadi anak bagi orang tuanya, dan tentu orang tua pun akan terus menjadi orang tua bagi anak-anaknya. Bukan kisahku memang, namun aku turut bersedih bagi mereka, anak-anak, yang tidak bisa menjalani pilihan yang mereka inginkan akibat tuntutan dari orang-orang tua mereka.

Ya, aku bersyukur hidup di dalam keluarga yang mendukungku, meskipun tidak selalu. Namun keluargaku tidak turut melarang apa yang aku inginkan, terkadang. Ya, sebab terkadang pun ada beberapa hal yang tidak mereka dukung, meskipun akhirnya aku akan mengabaikannya.

Sudah menjadi tugas orang tua untuk mengurus anak-anaknya, dan membesarkannya dengan kasih sayang. Namun sayangnya, sebab rasa kasih sayang yang teramat besar kadang akan membuat orang tua lupa bahwa setiap anak memiliki hak untuk berpendapat dan menjalani pilihan mereka sendiri. Tanpa sadar orang tua menjadi pembatas pergerakan anak, atau bahkan perkembangan hingga impiannya, dengan alasan untuk melindungi tentunya.

Sialnya, tidak semua anak berani untuk berpendapat tentang apa yang dia inginkan kepada orang tuanya. Alih-alih takut dimarahi dan dimusuhi, takut dibilang durhaka, takut dibilang tidak tahu terima kasih, atau bahkan takut orang tuanya kecewa. Tentu ada beragam alasan mengapa orang tua mengekang anaknya, ada beragam alasan mengapa anak-anak melawan, dan tentu ada juga beragam alasan mengapa anak-anak terus menurut saja.

Mewakili isi hati anak-anak yang tidak dikekang, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tuaku, yang memberiku arahan dengan baik, memberiku kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas apa yang aku ingini. Juga mewakili isi hati anak-anak yang tak dibebaskan memilih, aku pun ingin mengucapkan terima kasih kepada para orang tua yang telah berjuang keras mendidik anak-anak yang kalian miliki untuk menjadi orang yang “benar”. Namun aku pun ingin mengingatkan sedikit saja, apa yang orang tua anggap benar, belum tentu benar bagi anak, begitu juga sebaliknya, apa yang anak anggap benar, belum tentu benar bagi orang tuanya.

Mewakili isi hati anak yang tidak dipersilakan memilih jalan hidupnya, aku ingin orang tua tahu, bahwa anakmu sudah besar, berilah dia tanggung jawab untuk memilih apa yang mereka inginkan dan apa yang akan mereka pertanggung jawabkan. Aku tahu ini berat bagimu, para orang tua, namun biarkanlah anak-anakmu tumbuh menjadi dewasa. Bila anakmu terjatuh, anggaplah itu pelajaran baginya dan agar ia semakin dewasa, dan apabila ia berhasil, anggaplah itu adalah penghargaan terbesar baginya atas dirinya sendiri.

Tidak ada keputusan yang salah tentunya, yang salah adalah jika kamu tidak tahu apa risiko yang akan kamu hadapi di kemudian hari atas keputusan yang kamu ingini. Orang tua, anak-anak akan selalu menyayangi kalian, sekeras apapun kalian mendidik mereka, sekeras apapun kalian menolak keinginan mereka. Anak-anak, orang tua akan selalu menyayangi kalian apapun keputusan yang kalian ambil, apapun risiko yang akan terjadi kedepannya.

Orang tua, berilah kesempatan pada anak-anakmu untuk berdiri sendiri, belajar bertanggung jawab, belajar memimpin dirinya sendiri, agar kelak ia menjadi pemimpin sehebat dirimu. Anak-anak, berilah orang tuamu kesempatan untuk memelukmu lagi, mendekapmu, mengusap kepalamu, mencium keningmu, sekali lagi.

Fungsinya Kamu Ada

Cinta itu buta, ahh tidak, aku tidak buta.
Cinta itu fana, ihh tidak, aku tidak fana.
Cinta itu palsu, ohh tidak, aku tidak palsu.

Orang lain bisa buta karena cinta. Tapi aku, tidak. Cinta itu penuh dengan akal, perasaan, dan logika. Kita tidak akan hidup hanya dengan cinta. Cinta juga butuh faktor penunjang lainnya yang akan membuat rasa semakin bersama.

Akalku terus mengejar mimpi yang ingin ku gapai bersamamu. Cara dan rasa akan berpadu, menyatu, dan membuat api semangat di hati menjadi semakin menyala. Hingga tenagaku terus melaju tanpa lelah untuk mengejar apa itu cinta.

Gejolak di hatipun semakin membara. Senang, sedih, bahagia, kecewa, pernah ada di dalamnya. Ku rajut semuanya menjadi pondasi yang semakin kokoh, dan akan kutambahkan beberapa warna lagi di setiap harinya, agar semakin berwarna.

Apakah akan ada warna hitam? Tentu, sebab tanpa hitam, kita tidak akan tahu apa itu putih. Sebab pula jika hanya satu warna, apa indahnya? Hitam itu bukan kelabu, dan putih tidak selalu suci. Jadi untuk apa kita khawatir?

Rasaku memang tidak selalu bersemi, kadang ada pula musim gugur. Hatiku pun tidak selalu pasang, ada pula saatnya untuk surut. Tapi itulah fungsinya kamu. Kamu yang membantuku untuk bangkit saat berguguran, kamu pula yang menahanku agar tidak berlebihan saat bersemi. Kamu yang melambaikan tangan padaku ketika surutku mulai muncul, dan kamu yang menyapaku ketika ku sedang pasang. Semua sesuai dengan porsinya, seperti sudah diatur oleh sang Pencipta.

Kini, aku sedang tidak ingin diganggu. Aku hanya ingin bersamamu, menemukan bahagia di sisa waktuku.

[Podcast] Fungsinya Kamu Ada

#sajakasal di Maret 2021

Apakah Kita Saling Kenal?

People come and go. Setiap orang akan datang dan pergi dengan caranya masing-masing. Mungkin saja, itu salah satu hal yang kadang kita lupakan, bisa saja karena tidak saling kenal, atau bisa jadi karena terbiasa bersama.

Seseorang hadir di dalam kehidupan orang lain adalah hal yang wajar. Wajar sekali, dan setiap orang akan berusaha untuk mempertahankannya. Sayangnya, disaat lengah, seseorang bisa pergi tanpa kita sadari.

Lengah bukan berarti kita payah. Terkadang lengah sengaja Tuhan ciptakan agar kita tidak menyaksikan betul sakitnya kepergian itu. Menurutku, lengah itu sebagian dari takdir, yang mana meskipun selalu diwaspadai, tetap saja akan terjadi.

Seperti saat ini, kamu lengah dengan tujuanmu dan terbujuk ambisimu. Apakah ambisimu itu baik? Ya, aku yakin itu bertujuan baik. Namun apakah ambisimu membuat kita bahagia? Atau setidaknya, apakah itu membuatmu bahagia? Lagi-lagi, hanya kamu yang tahu jawabannya. Sebab aku saat ini hanya bagaikan penonton di depan panggung yang sedang kau lakoni. Bisa melihat, namun tak bisa menginterupsi. Sekalipun aku menginterupsi, apa pedulimu? Kaulah peran utamanya, dan kau berhak dengan apa yang ingin kau lakukan. Lalu, bagaimana denganku?

Ya, selayaknya selebriti, kamu merasa peranmu ini sangat penting, dan semua orang akan menyukainya. Tapi, lagi-lagi, itu hanya anggapanmu. Seorang selebriti terkenalpun pasti memiliki penonton yang tidak menyukainya. Mungkin saja, itu aku. Sayangnya, sekarang aku seperti penonton bayaran. Yang akan selalu tersenyum dan memberikan pujian serta tepuk tangan dari peran yang kamu mainkan, iya, peran yang sedang aku tonton. Aku akan terus terlihat puas dengan sandiwaramu selama aku menjadi penonton bayaran. Dan kau terus saja berusaha berakting semaksimal mungkin demi menyenangkan para penontonmu. Padahal, jiwamu bukan di situ.

Aku, ingin sekali menjadi hatersmu. Mengapa? Sebab aku bisa bebas mengkritikmu. Tapi apa aku bisa? Tentu tidak, banyak orang yang akan mencibirku. Penggemarmu, rekanmu, rekanku mungkin, bahkan juga keluargamu. Ya, keluargamu, sebab aku pun berperan sebagai salah satu dari keluargamu.

Aku mengenalmu, tapi kamu sedang tak mengenalku. Ya, mungkin karena peranku saat ini hanya sebagai penonton saja. Jadi, apa yang harus aku lakukan? Membiarkanmu terpuruk dalam peran yang tak ingin kau mainkan, atau menjadi pembencimu yang siap mengkritikmu kapan saja?

Eitsss tunggu dulu! Apakah benar kamu mengenalku? Atau apakah benar aku mengenalmu? Atau mungkin kita harus berkenalan lagi?

[Podcast] Apakah Kita Saling Kenal?

#sajakasal di Maret 2021

Jangan Langsung Tidur!

Nah, ini dia masalahnya. Kadang kalau udah capek banget, kita sering ketiduran, ya gak? Tapi sebaiknya, sebelum tidur, yuk rawat dulu tubuh kamu 🙂

Sebelum tidur, ada 5 ritual khusus yang akan aku lakukan, yaitu:

1. Cuci Muka
Nah yang ini jadi wajib banget deh! Mau beraktivitas banyak maupun sedikit, debu atau minyak pasti nempel di wajah. Jadi supaya meminimalisir pertumbuhan jerawat, aku pasti bersihin wajah dong. Aku sudah cocok banget sama Facial Foam Sariayu yang anti jerawat ini. Dipakainya enak, lembut, dan gak panas di wajah.

2. Sikat Gigi
Dulu sih aku jorok, sikat giginya kalau mandi aja, hehe. Tapi ritual sikat gigi sebelum tidur ini, sekarang jadi kebiasaan yang gak bisa ditinggalkan. Baiknya sikat gigi malam sebelum tidur itu, paling gak memperkecil risiko gigi rusak akibat sisa makanan dan bakteri jahat. Bagusnya, warna gigi akan tetap putih alami, dan gak terlalu sensitif kalau mengkonsumsi makanan ataupun minuman panas atau dingin.

3. Serum Wajah
Sebelumnya sempat panik karena udah mulai muncul kerutan dan sedikit flek hitam di wajahku. Ehh ada temanku yang infoin kalau serum wajah dari Natur ini bagus, dan akhirnya ku coba. Betul banget! Aku langsung cocok. Sekarang flek-flek hitamnya mulai berkurang, kerutan pun mulai menipis, dan kulit wajahku jadi kenyal dan lembab.

4. Lotion Kaki
Aku sayang banget sama telapak kakiku. Meskipun sering nyeker dan dibawa jalan jauh, tapi keindahannya pasti aku jaga. Caranya gampang, Guys. Pertama, yang pasti aku pakai lotion khusus di telapak kaki, biasanya sih aku pakai lotion baby, tapi lotion yang biasa kamu pakai untuk kulitmu sehari-hari juga bisa kok. Kedua, aku tidur pakai kaos kaki! Ini wajib aku kenakan, dan mungkin karena ini kebiasaan dari aku kecil kali ya.

5. Vaseline
Lho kok ada vaseline? hehehehe..
Jadi, kata nyokap, vaseline ini bisa memperpanjang bulu mata. Dulu bulu mata nyokap tipis, tapi semenjak nyokap sering pakai vaseline, jadi lebih panjang lho bulu matanya. Nah, aku coba pakai juga deh. Tapi berhubung bulu mataku sudah panjang dan lebat, jadi gak terlalu terlihat perubahannya. Cuma, semenjak pakai vaseline ini bulu mataku terlihat jadi lebih indah aja gitu.. Ditambah lagi si vaseline ini aku pakai juga untuk pelembab bibir pas tidur. Jadi pas bangun tidur bibirku gak kering.

Tapi, aku punya masalah lain. Pola tidurku kurang baik. Jadi biasanya aku terpaksa pakai penutup mata saat tidur. Dulu sebelum pakai vaseline, biasanya aku menggunakan buff untuk penutup mata. Tapi semenjak pakai vaseline untuk bulu mata, aku jadi pakai penutup mata yang bentuknya seperti bra.

Banyak yang mengira kalau penutup mata ini  adalah sebuah bra, hehehe bukan dong. Bentuknya memang hampir sama, ada cembungannya, namun fungsinya berbeda. Aku memilih penutup mata model begini agar aku tetap bisa menggunakan vaseline dan si vaseline ini tidak menempel di tempat-tempat lain. Jadi, cembungan penutup mata ini memberikan ruang bagi bola dan bulu mataku. Dengan kata lain, si penutup mata tidak langsung menempel ke kelopak mata, melainkan ada sedikit jarak. Menolong banget deh penutup mata ini!

Nah, 5 hal tersebut aku lakukan sebagai bentuk bahwa aku mencintai diriku sendiri ya! Untuk aku, bukan untuk orang lain. Setiap orang pasti memiliki cara tersendiri untuk mencintai tubuhnya. Kalau kamu, gimana caramu mencintai tubuhmu?

Mulai Bosan Bermain Media Sosial

Bosan di sini bukan yang lantas tidak mau memiliki media sosial dan tidak mengupdate media sosial ya. Hanya saja waktunya yang dikurangi.

Mulai dari pekerjaanku yang kedua, di Hukumonline, di Diamond, di ICJR, maupun di KSI (ICJR Learning Hub), selalu berhubungan dengan media sosial. Apalagi sekarang, sudah menjadi tugasku untuk benar-benar memerhatikan sosial media perusahaan ini. Baik soal editorial plan, content promotion, scheduling, memastikan penayangan, analyticnya, bahkan kadang mengurusi soal customer servicenya.

Tak hanya itu, ada beberapa akun social media lain yang juga saya kelola. Salah satunya ICJR Learning Hub (fan page, twitter, instagram, dan linkedin), dan jalanlah.id (fan page, twitter, dan instagram). Mungkin hal itu yang membuatku justru kurang memerhatikan akun social media milik pribadiku. Bahkan kadang suka berpikir, apa tutup akun saja ya? Hehe bercanda.

Malasnya lagi, ada orang-orang yang ternyata sangat “kepo” dengan kehidupan saya. Entah karena dia menyukai saya, atau membenci saya. Sehingga saya memutuskan untuk mengunci social media milik saya. Padahal saya sangat membenci hal itu.

Jadi teringat dulu saya pernah berkata pada teman saya yang mengunci social media miliknya, seperti ini “social media itu untuk umum, social, namanya juga social, ngapain dikunci? Kalau di kunci namanya private media, wkwkwk” sontak sayapun tertawa. Dan sekarang saya menjilat ludah saya sendiri hahaha.

Saya memutuskan untuk mengunci salah satu akun social media saya, instagram, dan memilih untuk memperkecil lingkup pertemanan yang saya miliki. Mengapa? Karena ternyata saya butuh ruang private. Jadi untuk rekan-rekan yang memfollow saya namun tidak saya follow back, maafkan saya ya, mungkin saya tidak “ngeh”, karena memang saya tidak terlalu memerhatikan akun social media milik saya pribadi, dan justru lebih memerhatikan akun social media lain yang saya kelola. Eitsss, tenang, bukan fake account untuk stalking kok hehe..

Kotoran Kucingku Mengganggu

Soal memelihara kucing. Sebenarnya kucing yang ada di rumah saya tidak sengaja kami rawat. Kami di rumah hanya memberi makan kucing yang datang. Alasannya sederhana, banyak orang berbondong-bondong membeli kucing dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Sedangkan bagaimana dengan nasib kucing domestik?

Ya, saya menyebutnya dengan sebutan kucing domestik. Kucing yang saya maksud adalah kucing liar yang tidak bertuan, yang beranak-pinak dengan sendirinya, yang tidak memiliki pemilik yang rutin memberinya makan, yang mencari makanan di kumpulan sampah. Hati saya tergerak untuk membantunya mengisi perutnya yang kosong.

Hingga akhirnya kucing-kucing ini menganggap kami di rumah adalah tuannya. Mereka selalu kembali ke rumah, tidur di depan atau di belakang rumah, mengantar kami jika ke warung, dan kami pun memberikan mereka nama satu-persatu.

Hingga ada seorang tetangga saya merasa terganggu, sebut saja Joko.

Joko: “Cha, saya mau minta tolong dong”

Saya: “Ohya, apa tuh?” jawab saya dengan penuh senyuman

Joko: “Coba deh kamu lihat tuh sekeliling banyak banget tai kucing”

Saya: “Ohiya nanti dibersihin sama kakek” kebetulan kakek saya memang terbiasa untuk membersikan kotoran kucing yang ada di sekitaran rumah

Maklum saja, saat ini ada seekor kucing yang baru saja beranak, dan bayi-bayi kucing ini masih suka buang kotoran sembarangan. Ya namanya juga bayi kucing, jadi belum bisa diajarkan untuk buang air dimana.

Joko: “Bukan masalah bersihin, coba kamu lihat tuh (kotoran kucing)”

Saya: “Iya, nanti dibersihkan sama kakek ya”

Joko: “Bukan begitu, kan kasihan orang yang ngontrak disini (kebetulan ini juragan kontrakan) mau complain gak berani”

Saya: “Iya nanti dibersihin ya”

Joko: “Lagian kamu punya kucing tuh jangan di tambah-tambahin dong”

Awalnya memang saya merasa bersalah karena memang kotoran kucing itu mengganggu, dan saya terima-terima saja di tegur. Tapi kok pas dia bilang “punya kucing jangan di tambah-tambahin” saya merasa geli ya.

Saya sudah menyediakan pasir kucing untuk kucing-kucing saya buang air. Bahkan ada beberapa dari kucing saya ini yang akan pergi mencari kebun kosong untuk buang air, kebetulan di belakang rumah saya masih ada kebun kosong. Kotoran kucing yang sekarang ada, itu adalah hasil dari bayi-bayi kucing yang belum bisa diajak untuk berdisplin. Hemmmm baiklah sepertinya saya habis melakukan suatu kesalahan hingga orang tersebut sensi dan menegur saya.

Salah saya? Iya mungkin ada faktor kelalaian yang saya lakukan. Tapi jujur saja saya agak merasa gimanaaaaaa gitu. Dulu waktu orang ini memelihara bebek atau angsa, dan kotorannya menclok di halaman depan atau belakang rumah saya, kami hanya diam saja dan membersihkan dengan ikhlas hati. Karena apa? Karena kami berpikir ya namanya juga binatang, wajar saja kalau mereka buang kotoran sembarangan. Dalam hati saya, “ohh mungkin dia sedang lupa” wkwkwk.

Gimana Rasanya Bertemu dengan Orang “Tahu Beres”?

Saat ini pekerjaan sampingan saya adalah sebagai tutor online di salah satu universitas di Jakarta. Tutor online sebenarnya sama saja seperti seorang dosen, hanya saja belajarnya via online dan tidak tatap muka. Banyak dosen-dosen dari berbagai universitas di Indonesia yang turut terlibat dalam kegiatan tuton online ini. Hingga suatu kesempatan, beberapa dari kami dikumpulkan untuk mengerjakan misi tertentu.

Disana saya bertemu dengan banyak dosen-dosen hebat. Sampai pada seseorang mengajak saya berbincang, sebut saja Joko.

Joko: “Ngajar dimana, Kak?”

Saya: “Ohh saya gak ngajar di kampus, Mas”

Joko: “Ohh berarti Kakak ngapain dong (kesehariannya)?”

Saya: “Saya kerja di NGO (non government organization)”

Joko: “Wahh bagus tuh NGO, saya boleh ikut risetnya gak, Kak?”

Saya: “Riset tentang apa dulu, Mas?”

Joko: “Saya ingin riset yang menyangkut pedalaman”

Saya: “Iya, tentang apa?”

Joko: “Ya tentang pedalaman gitu, yang kurang terjamah oleh masyarakat umum”

Saya: “Bukan, maksud saya tentang apa? Hukum kah? Kesehatan kah? Pendidikan kah? Atau apa?”

Joko: “Apa saja, yang penting di pedalaman”

Saya: “Ohh banyak memang NGO yang menyasar ke pedalaman, tapi tiap-tiap NGO konsentrasinya berbeda-beda”

Joko: “Maksudnya? Memang ada apa saja?” dia nampak heran

Saya: “Ya banyak banget, Mas maunya di konsentrasi mana?”

Joko: “Wah saya gak ngerti tuh, kalau kamu memang konsentrasinya apa?”

Saya: “Kalau NGO tempat saya bekerja fokus mengurusi hukum, khususnya soal perkembangan hukum pidana dan hak asasi manusia”

Joko: “Ohh gitu ya, terus saya bisa ikutan?”

Saya: “Kurang tahu, memang kamu mau melakukan apa dan apa fokus kamu?”

Joko: “Ya saya ingin riset yang membahas soal pedalaman itu, Kak”

Saya: “Maksudnya?” sekarang saya yang nampak heran

Joko: “Atau gini, bisa gak nama saya ikut dicantumkan di riset kamu?”

Saya: “Maksudnya bagaimana?”

Joko: “Iya, saya ikut riset di NGO kamu, apa saja, nanti nama saya dicantumkan saja”

Saya: “Ohhh cuma numpang nama maksudnya?”

Joko: “Iya”

Baiklah, akhirnya saya bertemu dengan orang yang mau tahu beres saja, rasanya ingin saya maki dengan penuh cacian. Mikir woy! Lu kira riset gampang! Akhirnya saya menutup pembicaraan dengan menjawab:

“Maaf ya, Mas, gak bisa, karena rekan-rekan saya riset itu mikirnya susah, dan NGO saya membahas khusus soal perkembangan hukum pidana, saya rasa gak akan cocok dengan background kamu. Sebaiknya kamu coba cari NGO lain, coba buka website NGO ini, ini, dan ini, dan coba saja ajukan kerjasama untuk riset”

Hemmmm masih ada saja orang berpendidikan yang maunya mencari jalan pintas.

Semua Orang Menginginkan Lahan Basah?

Saya terbiasa melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang saya inginkan. Misalnya, cita-cita saya adalah menjadi seorang dosen honorer, iya hanya honorer saja, saya belum memiliki keinginan untuk menjadi dosen tetap di salah satu universitas. Untuk menjadi seorang dosen, saya harus memiliki pendidikan minimal strata 2, atau lulusan magister, dan saya mewujudkan itu. Meskipun hingga saat ini saya belum menjadi dosen yang mengajar langsung di kelas, karena hingga saat ini saya masih mengajar via online saja.

Sifat saya yang seperti itu mungkin kurang baik, dan itulah yang menyebabkan saya belum juga mendaftarkan diri dan mengikuti seleksi CPNS. Dimana banyak orang-orang seumuran saya yang mengikuti tes CPNS, saya belum tertarik. Mengapa? Karena tidak ada tujuan yang ingin saya capai di situ. Kembali lagi dengan sifat saya yang bergerak untuk mendapatkan sesuatu.

Hingga pada suatu hari saya bertemu dengan rekan saya, dan dia menanyakan mengapa saya belum juga mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil? Dan ketika saya bertanya, mengapa kamu mendaftar, dia tak memiliki alasan yang menurut saya berbobot. Dan ketika saya bertanya, kementerian apa yang kamu inginkan? Dia menjawab kementerian X, mengapa? Karena kementerian ini lahannya sangat basah. Wowwww serentak dalam hati saya langsung membenci dia.

Tahukah kamu, terkadang seseorang menginingkan sesuatu hanya untuk terlihat keren, tanpa tahu tujuan apa yang ingin di capai. Seketika hati saya merasa sedih. Apakah hampir rata-rata pelamar CPNS mempunyai tujuan yang sama? Semoga tidak, iya saya yakin tidak semua orang seperti rekan saya itu.

Ibu saya adalah seorang PNS di salah satu kementerian pendidikan. Zaman dia melamar dulu, orang-orang banyak yang tidak mau menginginkan posisi itu. Mengapa? Karena dulu pendapatan seorang PNS sangatlah kecil, bahkan ibu saya pernah merasakan gaji yang tidak masuk di akal, kecil sekali. Dan sekarang, tentunya ibu saya menginginkan saya pula menjadi seorang PNS. Jujur saja saya tidak suka dengan system kompetisi yang sangat heboh seperti itu.

Nenek saya bertanya, “kenapa sih kamu gak ikut seleksi CPNS?” dan saya pun menjawab “Nek, aku udah punya kerjaan, dan kasihan orang-orang yang melamar CPNS itu ribuan, dan belum tentu semuanya keterima. Aku hanya mencoba mensyukuri apa yang aku punya saat ini, dan memberikan kesempatan kepada orang lain yang ingin menjadi CPNS, karena bisa saja diantara orang-orang itu masih ada yang belum mendapatkan pekerjaan” ekhemm sok bijak tapi bodoh hahaha.

Sebenarnya ada satu kementerian yang saya inginkan jika melamar CPNS nanti, yaitu Basarnas. Mengapa? Karena kembali lagi ke prinsip saya yang ingin “mendapatkan sesuatu”, dan saya rasa saya akan mendapatkannya di bagian itu. Saya bisa menyalurkan hobi saya mengunjungi tempat-tempat terpencil, berkegiatan sosial, dan bekerja mendapatkan gaji. Hehehe mimpi dulu boleh ya. Tapi kapankah saya akan mendaftar CPNS? Nanti saja kalau niat saya memang sudah benar-benar bulat, dan saya memiliki tujuan untuk mencapai sesuatu.

Lalu ada yang menyahut, “kamu kira tes CPNS gampang, sekali coba akan langsung diterima?” jawabku “ya kalau tidak diterima itu namanya gak jodoh, berarti bukan disitu rejekinya” simple kan..