Kaki Mu Tetap Kekuatan Mu, Pak!

IMG_20170614_070712_1497400601941

 

“Yaampun bapaknya kasihan banget naik motor sendirian bawa tongkat begitu, ngerinya jatuh” kira-kira pikiran itu yang ada di dalam otakku ketika melihat seorang pengendara motor matic menuju ke arahku. Lalu tiba-tiba, “yuk, Mbak” sapa bapak pengendara motor yang sedang ku perhatikan itu, sebut saja beliau Pak Fat (bukan nama sebenarnya).

Sesaat aku pun kaget ketika sadar bapak dengan keterbatasan fisik itu lah yang akan mengantarku hari ini ke kantor. Ya, keterbatasannya adalah tak memiliki kaki sebelah kanan, sepertinya hilang pada bagian paha hingga telapak kaki kanan. Sehingga pak Fat membawa sebuah tongkat kayu yang disenderkan di bahu kirinya, tentu untuk membantunya berjalan. Penuh senyum dan ramah beliau menyapa. Namun aku ragu, rasanya tak yakin bahwa aku akan selamat sampai tujuan. “Ohh, oke, Pak”, mau tak mau aku pun menaiki motor yang di kendarainya.

Pengemudi ojek online itu mengenaliku setelah sebelumnya aku kirimkan pesan bahwa aku sudah menunggu di pinggir jalan mengenakan sweater merah maroon. Jadi bukan hal yang sulit untuk pak Fat menemukanku di pagi itu. Rasa takut dan khawatir pun berputar-putar di otakku. “Naik, gak, naik, gak”. Rasanya gak ingin naik, tapi tentu itu akan membuatnya kecewa karena tidak diberi kepercayaan. Akhirnya, ketegangan pun dimulai.

Cara berkendaranya cukup baik, meskipun kadang pak Fat ngebut. Jujur saja aku sempat berpikir negatif, “ihh bawanya ngebut-ngebut banget, apa pak Fat frustasi dan merasa nyawanya tidak berharga? Heloooo pak, nyawa ku sungguh berharga untukku”. Namun aku yakin, kecepatan motor pak Fat bukan untuk ugal-ugalan, tapi untuk memastikan bahwa aku tidak telat tiba di kantor.

Ku jadikan tangan kiri ku sebagai penyangga tas ransel yang ku pangku, agar pak Fat tidak merasa terganggu selama berkendara. Ku lambaikan tangan kanan ku tiap kali pak Fat berusaha menyalip ke kanan atau sekedar memberikan tanda kepada pengendara di belakangku untuk berhati-hati. Ku bungkam juga mulut ku yang bawel dan biasanya sok kenal sok dekat (sksd) dengan pengemudi. Aku tak ingin pak Fat hilang konsentrasi atau merasa terganggu ketika mendengar celotehan ku yang tak ada habisnya.

Dag dig dug hatiku tak bisa dibohongi. “Oh Tuhan, aku masih ingin hidup dan meneruskan cita-cita serta rencanaku. Lindungilah aku, pak Fat, dan motor yang kami gunakan hingga tiba di tujuan” kira-kira itulah doa ku selama perjalanan.

“Maaf ya, Pak, bukannya aku sombong gak mau ngobrol, tapi aku takut bapak terganggu dengan ocehanku” ucap ku di dalam hati. Kekepoanku pun membuat ku bertanya jawab sendiri dengan pikiranku, namun aku memilih konsisten, untuk tidak mengajak pak Fat mengobrol. Meskipun sejujurnya dalam hati, ingin sekali aku bertanya, “Pak, kakinya kenapa?” tapi aku takut pak Fat merasa tersindir atau justru sedih karena menceritakan penyebab kaki kanannya tak ada.

Beberapa pengendara yang sadar dengan kondisi pak Fat, tak luput untuk menengok. Bahkan memberikan kesempatan kepada pak Fat untuk melaju lebih dulu. Mungkin pemikiran pengendara lain sama sepertiku, ingin memberikan kepercayaan kepada pak Fat, sambil berkata dalam hati “pak Fat pasti bisa”. Tatap pasang mata demi mata, ku perhatikan melirik kondisi pak Fat. Sampai-sampai keamanan di depan kantor ku pun ikut menoleh ketika kami berhenti di depan pintu masuk gedung kantor.

“Berapa, Pak?” aku bertanya berapa tarif yang dikenakan untuk biaya perjalananku.

“Nol rupiah, mba” jawab pak Fat dengan raut bingung.

“Ohh beneran nol rupiah ya, pak?” tanyaku memastikan.

“Iya, mba” jawabnya sedikit lesu namun tetap memberikan senyum meskipun sedikit kecut terheran.

“Iya, Pak, maaf ya.. Saya dapat diskon Rp. 25,000 karena sebelumnya pengemudi saya bohong” kataku.

“Hahhhhh?” mimik pak Fat semakin mengerucut dan terlihat bingung.

“Jadi kemarin saya pesan ojek online, Pak. Pengemudinya bohong, belum sampai sudah di pick-up, dan beberapa detik kemudian saya diminta untuk memberi rating. Pas saya telpon pengemudinya, dia tanya saya siapa, saya bilang saya yang pesan ojek online, belum selesai saya bicara, telponnya langsung dimatikan” penjelasanku kepada pak Fat, dan semoga pak Fat mengerti maksud ceritaku.

Ya, itu benar terjadi. Aku langsung mengadukannya kepada pihak penanggung jawab ojek online atas kelakuan tak benar pengemudinya. Lalu aku diberikan voucher diskon Rp. 25,000 untuk satu kali perjalanan. Bukan itu yang ku mau, tapi menjaga kualitas akan jauh lebih penting dibanding harga dua puluh lima ribu.

Namun aku pun tak bebal, aku menghargai pihak penyelenggara yang memberikanku diskon, tentu maksudnya adalah untuk meminta maaf dan agar aku tetap percaya kepada jasa mereka. Aku pun sadar, itu bukan salah penyelenggara, namun oknum yang tidak bertanggung jawab seperti pengendara pembohong itulah yang tidak tahu susahnya membangun branding dan kepercayaan masyarakat.

Kejadian ini membuatku salut kepada pak Fat. Berkat pak Fat, aku mengambil banyak pelajaran, meskipun kami saling membisu. Pertama, berikan kepercayaan kepada orang lain untuk membuktikan bahwa dia bisa. Kedua, bekerja dengan baik untuk mendapatkan hasil yang baik pula. Ketiga, ikhlas dan tersenyumlah meskipun kadang kita sulit memahami apa yang orang lain katakan. Keempat, berikan yang terbaik kepada orang lain. Kelima, jangan menyerah pada keadaan dan keterbatasan, justru dengan keadaan dan keterbatasan kita harus membuktikan bahwa kita bisa.

Terima kasih untuk pelajaran kemarin, Rabu, 14 Juni 2017, pagi hari, kemarin, pak Fat. Semangatmu untuk tidak hanya berdiam diri, membuatku iri.