Sementara Ini, Langkahku Terhenti Karenanya

solitude-copy-women-sorrow-casual-lonely_1418-614

Sedih rasanya, melihat 3 temanku mendaki ke gunung tertinggi kedua di Indonesia tanpa ku. Pada 18 Februari 2018 kemarin, ketiga temanku, Bang Razak, Bang Ncay, dan Kak Ferdia, beserta 1 orang lainnya bernama Ihsan, menjajaki pendakian Gunung Kerinci, dan dipandu oleh tim ahli disana. Pendakian dilakukan melalui jalur baru, jalur Solok Selatan, Sumatera Barat, dan katanya tim ini menjadi tim kedua setelah diresmikannya jalur baru tersebut.

Keputusanku untuk pindah kantor memang jadi salah satu faktor mengapa aku tidak ikut pendakian ini. Padahal sebenarnya bisa saja aku izin tidak masuk bekerja tanpa dibayar (unpaid) untuk 1 hari, karena kebetulan ada tanggal merah di jadwal pendakian. Namun faktor utamanya bukan disitu.

Kali ini aku harus mengalahkan ego ku. Ego besar yang sangat sulit ku kendalikan. Perjalanan ke Gunung Kerinci sudah dijadwalkan dari sekitar akhir tahun 2016, dan hasratku menggebu-gebu kala itu. Rencana tinggalah rencana, pencarian waktu dan jalur pun membuat waktu keberangkatan semakin memundur.

Sampai tiba di pertengahan Juli 2017, aku merasakan pusing yang amat hebat. Kepalaku terus berputar, mual saat itu semakin menggangguku, pandanganku gelap, setitik cahaya amat menjadi pengganggu bagiku, dan aku tak mampu untuk berdiri. Jangankan untuk berdiri, mengubah posisi kepalaku saja, tubuhku seakan runtuh dan tak dapat dikendalikan, dan aku tak mampu mendengar. Aku pun dilarikan ke rumah sakit sambil berpikir, apa aku akan mati sekarang?

Rasa sakit ini amat hebat. Aku pun tak tahu ini sakit apa. Yang aku tahu, jangan sampai posisi kepalaku ini berubah 1 senti (cm) saja. Karena itu berarti aku harus merasakan dunia seolah berputar seperti bola yang dibanting dari atas ke bawah dan depan ke belakang. Hingga dokter menyatakan bahwa aku mengalami vertigo, dan aku harus di rawat selama 1 minggu. Setelah 1 minggu keluar dari rumah sakit, berselang 1 minggu kemudian aku kembali di rawat selama 5 hari dengan penyakit yang sama. Saat itulah aku merasa terbunuh.

Jangankan untuk mendaki gunung, sekedar berolahraga (workout) 2 ronde pun aku cepat pusing dan mual. Sekarang posisinya serba salah, terlalu banyak menunduk malah pusing, terlalu banyak menengadah pun pusing. Bagaimana mau naik gunung?

Aciel, temanku, menyemangatiku, bahwa aku harus percaya diri, dan masih bisa melakukan pendakian ringan. Dia menjadwalkan kami untuk pergi ke Gunung Ciremai, untuk mengobati rindu akan harumnya alam di pagi hari. Awalnya ku jawab iya, namun kepercayaan diriku kembali runtuh ketika aku tak kuat melakukan workout 2 ronde. Aku kembali berpikir, jangankan untuk naik gunung, untuk workout saja aku tak mampu.

Kembali aku melawan egoku, dan kembali aku membatalkan keikutsertaanku dalam mendaki. Ingin rasanya kembali melihat genitnya mentari yang muncul dari balik awan. Ingin rasanya melihat lautan awan itu ada di bawah kakiku. Ingin rasanya menyaksikan tarian bintang dikala malam. Ingin rasanya mencium aroma embun di atas rerumputan. Ingin rasanya menikmati lezatnya mie instan dan secangkir teh yang rasanya akan berkali-kali lebih nikmat dari biasanya. Rindu pada suara jangkrik yang amat dekat. Rindu dengan hilangnya sinyal ponsel dan menjauhkanku dari hingar-bingar dering telepon ataupun whatsapp. Rindu rasanya melihat hamparan hijau luas membentang. Rindu rasanya meminum air mentah yang berasal dari mata air. Dan rindu pada kebersamaan juga kekompakan tim hebat yang mengajari arti kebersamaan.

Lagi-lagi aku berkata, langkahku pun masih terhenti disini. Tak ingin malah menjadi beban, aku pun memutuskan belum berani untuk kembali melakukan pendakian. Alam yang baik, izinkan aku untuk bertemu kalian lagi di suatu hari nanti.