7 Cara Meruntuhkan Mitos Gunung Arjuno – Welirang

Meruntuhkan mitos itu, sesekali perlu. Ya, perjalanan kali ini diiringi dengan rasa takut yang mendalam. Saya penyuka warna kuning, namun entah mengapa peralatan mendaki saya dominan berwarna merah, dan kali ini saya tidak boleh menggunakannya. Kata siapa? Kata mitos yang beredar di masyarakat.

Gunung Arjuno, yang katanya menjadi tempat petapaan Dewa Arjuna yang sangat gagah dan maha dahsyat, membuat gunung ini memiliki banyak nilai sejarah dan juga petilasan yang hingga saat ini masih rutin dikunjungi. Terdapat beberapa jalur pendakian memang, dan kali ini saya dan tim memilih untuk melewati jalur Tretes, yang tidak terlalu banyak terdapat petilasan.

Dari sebelum perjalanan, saya sangat memerhatikan warna yang akan digunakan oleh tim nantinya. Walaupun malah jadi bahan ledekan oleh teman-teman di tim, saya tetap waspada dengan pengunaan warna merah dominan. Akhirnya saya pun kecolongan, satu rekan saya menggunakan tas berwarna merah orange. Dag dig dug sempat menghantui, “petaka apa yang akan menimpa rekanku ini nanti ya?”, pikirku.

Masih dalam perjalanan, rasa khawatir semakin besar, karena tiba-tiba saya kedatangan tamu bulanan. Oh my God! Menurut ulasan yang saya baca, perempuan yang melakukan pendakian dalam kondisi haid tidak diperkenankan melakukan pendakian. Meskipun ada juga yang bilang kalau boleh saja nanjak tapi tidak boleh sampai puncak. Hemmmm rasanya saya ingin segera pulang untuk meredakan rasa khawatir ini. Tapi mau bagaimana lagi, “kali ini, petaka apa yang akan menimpaku?” pikirku lagi.

Gak berhenti sampai di situ. Kami berangkat dari Jakarta dengan jumlah 9 orang, dan menyusul rekan kami dari Surabaya 3 orang. Totalnya kami beranggotakan 12 orang. Saat menuju Lembah Lengkehan, satu rekan saya cidera kaki, dan memutuskan untuk tidak ikut muncak besok paginya. Ditengah cahaya matahari yang cemerlang, timbul lagi rasa khawatir yang amat mendalam. Ya, mitos ketiga adalah tidak boleh melakukan pendakian dengan jumlah ganjil. Coba dihitung! 9 orang dari Jakarta ditambah 3 orang dari Surabaya, dikurangi 1 orang tidak ikut muncak, berarti anggota kami ganjil! “Hahh tamat sudah riwayat kami!” pikirku kembali pasrah.

Sepanjang perjalanan aku menantikan mana dia si gagah Lali Jiwo yang katanya angker? Ya, hutan ini terkenal dengan kemistisannya yang dapat membuat orang lupa diri. Namanya saja lali=lupa dan jiwo=jiwa. “Jadi, setan dalam bentuk apa lagi yang akan aku lihat kali ini?” pikirku lagi. Oh Tuhan..

Meskipun rasa takut seperti memelukku erat, aku yakin Tuhan menyayangiku dan teman-temanku. “Dia pasti akan melindungi kami yang hanya ingin menikmati keindahan alam yang sudah diciptakan-Nya untuk kami” pikirku menenangkan diri. Lagipula jika ini adalah pendakian terakhir kami, yasudahlah.. Toh memang ada jokes yang bilang “kenapa suka naik gunung? Karena semakin mendekatkan diri kepada pencipta” hahaha.

“Cha, ini lho yang namanya hutan Lali Jiwo” kata temanku, sebut saja dia Om Susan.

Ohhhhhemmmmjiiii!! Ini hutan keren banget! Kemiringan tanah terstruktur dengan baik, pohon pinus pun ikut berbaris dengan rapi, kicauan burung merdu sekali, dan cahaya matahari pun menyorot dengan porsi yang pas dan tidak berlebihan, tidak menyengat, namun tidak juga menggelap. Semuanya dalam komposisi yang selaras. Tetiba saya teringat dengan artikel lain yang juga pernah saya baca, bahwa dahulu kala, sejak zaman penjajahan Belanda, hutan ini adalah hutan favorit para menir karena keindahannya. Dan kali ini saya membuktikan bahwa hutan ini keren banget! “Pantesan aja wong Londo demen di sini, gw aja takjub” pikirku lagi.

Timbul pertanyaan, mengapa hutan ini ditakuti dan bisa bikin orang lupa diri? Jawaban konyolnya adalah yaiyalah lupa diri, indah banget gini, sambil jalan lihat kanan kiri doang, lama-lama gak tau lewat mana, nyasar, ilang, mati deh.

Perjalanan menuju puncak gunung Arjuno pun berjalan dengan baik, hingga akhirnya kami kembali menuju Lembah Lengkehan, tempat kami mendirikan tenda. Kali ini sedikit uji nyali, tim kami berpencar. 5 orang pergi mencari air, 4 orang berjalan dengan santai, dan saya berdua dengan rekan tim, sebut saja dia Kak Ferdia, memutuskan untuk jalan lebih dulu, untuk memastikan rekan saya yang sakit dalam kondisi baik-baik saja.

Kali itu, matahari mulai tertutup pohon pinus tinggi di hutan Lali Jiwo. Ya, saya harus kembali melewati hutan ini untuk mencapai tenda kami. Udara sangat dingin dan persediaan air yang kami bawa tinggal 1 botol 600 ml saja. Sempat beberapa kali saya salah menapaki jalur, dan diingatkan oleh Kak Ferdia. Indahnya luar biasa memang, membuat saya enggan berpaling untuk menatap barisan pohon-pohon pinus itu. Meskipun sudah dibuatkan jalur untuk perjalanan, rimbunnya dedaunan yang ada di hutan ini sesekali penutupi jalur. Jadi ketika melewati hutan ini kita harus jeli memerhatikan ikatan kain ataupun bendera yang telah dibuat sebagai penunjuk arah.

Tibalah kami di Lembah Lengkehan. “Yeaaayyy sampeeee!” teriakku, dan malu rasanya ternyata banyak orang di sana saat itu yang mendengar dan memalingkan muka ke arah saya. Seperti jadi sorotan, “anjir malu aing” dalam hati. Seketika saya langsung memastikan rekan saya yang cidera dalam kondisi baik-baik saja, dan iya, dia baik-baik saja, bahkan sangat baik kondisinya. Eitsss kami gak egois lhoo, rekan saya ini tidak sendirian, dia ditemani oleh rekan kami 2 orang lagi yang datang dari Surabaya, menyusul, dan memang ingin di lembah Lengkehan saja. Jadi, no egois egois club ya 🙂

Perjalanan kami kembali ke rumah masing-masing pun berlangsung dengan baik, sesuai jadwal, dan sesuai dengan harapan.

Udah ceritanya gitu aja? Haha iyaaaa..

Ehhh enggak deh, tapi boong 😛

Ada beberapa poin penting yang saya dapat dalam perjalanan kali ini.

Pertama, larangan warna kita hormati saja. Namun tidak menjadi penghalang kita untuk melakukan sesuatu. Buktinya rekan saya yang menggunakan tas berwarna merah orange, tetap selamat dan tanpa kekurangan sesuatu apapun hingga tiba di rumahnya.

Kedua, pastikan setiap perjalanan kita dalam kondisi baik, terutama jasmani. Meskipun sedang mensturasi, tapi pastikanlah kalau kondisi kita fit. Mungkin larangan tidak boleh mendaki ketika haid ada beberapa sebab. Misal, ada lho tipe perempuan yang kalau lagi “dapet” tuh sampe mules nangis-nangis nungging-nungging drama gak karuan, saking sakitnya, nah mungkin yang tipe begini yang dimaksud. Atau tipe yang membuang pembalut sembarangan, karena selain mengotori gunung, aroma darah dari pembalut akan mengundang binatang untuk datang, terutama binatang buas. Kalau urusan mengundang mahkluk halus, bukan kapasitas saya yang bicara, hehe.

Ketiga, mendaki ganjil bukanlah masalah besar. Mungkin saja yang ditakutkan adalah ketika jumlahnya ganjil, misal berlima, 4 orang berada di dalam 1 tenda, dan 1 orang sendirian di satu tenda. Itu akan menyebabkan udara di dalam tenda yang sendirian akan sangat dingin, dan berpotensi menimbulkan kedinginan hingga hipotermia.

Keempat, selalu ingat dengan tujuan utama. Jangan terlalu takjub dengan pemandangan sekitar yang akan menghilangkan fokus utama kita. Seperti saat ada di hutan Lali Jiwo misalnya. Keindahan hutan ini membuat kita tidak ingin memalingkan pandangan sedikitpun. Nah saat itulah kita melawan egoisnya diri kita sendiri.

Kelima, percaya dengan teman. Kenapa? Karena ketika kita takut, resah, panik, khawatir, atau apalah itu, teman pasti akan menyemangati kita. Dengan hanya kata “dikit lagi sampe kok” ya percaya saja meskipun kenyataannya masih jauh, haha. Atau juga dengan kata “ahh gakpapa, itu hanya mitos” percayai juga saja. Anggap saja dia ingin kamu selalu berpikiran positif.

Keenam, hindari meruntut masalah. Misalnya, karena menggunakan merah, jadi sial, ditambah lagi yang mendaki ganjil, pasti makin sial, ehh lagi “dapet” juga, makin sial banget deh ini. Tidak seperti itu, Ferguso! Haha. Semakin kamu berpikiran yang tidak-tidak, maka pikiran itu akan semakin menghantui kamu.

Ketujuh, selalu berpikiran positif. Ini poin paling penting. Semua mitos yang saya baca sebelum mendaki di Arjuno akhirnya saya patahkan dengan pengalaman saya sendiri. Kala itu, meskipun rasa khawatir saya teramat besar, sepanjang jalan saya selalu berdoa dan berpikiran positif. Dalam hati saya berkata kalau saya tidak ingin merusak alam, saya hanya ingin menikmati keindahan alam yang sudah Tuhan siapkan untuk saya, saya tidak bermaksud macam-macam, saya tidak ingin berbuat jahat, dan saya sangat mencintai perjalanan saya. Alhasil, pikiran positif kita akan sangat mempengaruhi tingkah, emosi, jiwa dan raga kita sendiri, dan kami pun dapat kembali ke rumah kami masing-masing dengan selamat.

Wahh gak terasa, kalau di microsoft word, tulisan ini sudah 3 halaman lho. Kata orang, kalau cerita di blog jangan panjang-panjang, nanti yang baca jadi malas baca. Haduhh maafkan akuuuu, semoga saja gak bosen baca ulasan ini ya, Manteman 🙂

Ehh ketinggalan satu lagi, hehe. Kenapa suka lupa jiwa di hutan Lali Jiwo?

Kata rekan saya, di hutan tersebut ada jamur yang berwarna orange. Jika kita menghirup atau memakan jamur tersebut, maka kita akan berhalusinasi. Seperti jamur yang ada di kotoran sapi. Penjelasan ilmiah inilah yang menjadi salah satu penyebab saya untuk selalu berpikiran positif.

Jadi, yuk selalu berpikiran positif 🙂 Terima kasih sudah membaca tulisan ini..

 

Thanks to: Bang Aciel, Bang Jek, Bang Ncay, Kak Ferdia, Tyo, Mas Candra, Cak Andy, Bang Irwan, Om Susan, Wati, Widi, Mas Ari, dan Mas Gondrong.