Belakangan ini perfilman di Indonesia seakan menjadi hal yang aneh bagi penikmat film. Minimnya produksi film-film yang berkualitas dan tingginya film-film yang “asal-asalan” membuat konsumen beralih menonton film buatan luar negeri. Film impor ini dinilai lebih berkualitas dibandingkan film-film Indonesia. Memang tak semua film Indonesia berkualitas kurang baik, namun jarang sekali Indonesia membuat film yang benar-benar bernilai tinggi.
Akhir-akhir ini banyak sinema yang bertemakan percintaan, horror porno, komedi porno, dan lain sebagainya yang dinilai kurang berbobot untuk ditonton. Katakan saja hanya ada beberapa film Indonesia yang berbobot salah satunya film “Sang Penari”. Dalam film sang penari, mengisahkan seorang wanita yang berusaha mempertahankan budaya dan memperbaiki citra nya kepada masyarakat dengan berjuang menjadi seorang penari ronggeng. Dalam film ini memang ada beberapa sin yang terlihat porno, tapi itulah seni dan itulah nilai budaya pada zaman itu. Berbeda dengan film-film kacangan lain yang dengan sengaja menampilkan adegan yang seharusnya disensor dan menjadikannya sebagai sasaran pasar.
Jika dibandingkan lagi dengan film-film produksi luar negeri, tentu sangat jauh berbeda dengan produksi lokal. Di bioskop banyak orang-orang yang mengantre untuk menonton film luar negeri ketimbang film Indonesia. Jika ditanyakan kepada penonton, “kenapa Anda menonton film luar negeri?” tak ayal mereka berkata”keren tau filmnya” atau “abis film Indonesia kurang bagus sih”. Tingginya minat penonton membuat nilai jual film tersebut semakin tinggi, hal ini juga akan meningkatkan royalty yang diterima oleh pemerintah atau lembaga-lembaga tertentu. Namun apakah alasan royalty ini menjadi faktor utama dari beredar luasnya film luar negeri? Di luar negeri saja, film produksi Indonesia tidak mudah untuk masuk ke dalam bioskop lokal di daerahnya. Tapi sepertinya tidak untuk Indonesia yang sangat mudah memasukkan film-film cetakan luar negeri.
Untuk menayangkan sebuah film, memang akan dikenakan royalty yang akan masuk ke dalam kas Negara. “Atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26 oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra;” bunyi dariSURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-3/PJ/2011 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMASUKAN FILM IMPOR. Angka 20% dari nilai bruto memang angka yang sangat fantastis, bayangkan saja berapa banyak film impor laris yang sudah tayang di Indonesia.
Dalam hal ini siapakah yang harus disalahkan? Penonton? Rumah Produksi? Atau Pemerintah? Secara satu per satu tidak ada yang bisa disalahkan. Tapi bagaimana jika pemerintah berupaya untuk membuat standarisasi perfilman Indonesia? Tentu saja dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas perfilman Indonesia. Bagaimana jika Pemerintah lebih menyeleksi peredaran film-film “kacangan” agar sedikit meningkatkan kualitas film? Bagaimana jika Lembaga Lulus Sensor sedikit mengetatkan film-film yang bersifat melecehkan baik dalam bentuk apapun? Bagaimana jika rumah produksi sedikit lebih keras lagi memutar otak untuk membuat skrip dan adegan yang lebih bagus lagi? Dan bagaimana jika konsumen memilih dengan baik film-film yang beredar di Indonesia?
Kopipes :
Film Impor Kalahkan Film Lokal | http://ow.ly/GCAMA | @hukumpedia | http://ow.ly/i/86VWO